Podcast » Cakrawala

Kebijakan tak Antisipatif, Ikan Nelayan Membusuk

25 April 2014 - 19:33 WIB

Bertonton ikan basah hasil tangkapan nelayan Simeulue membusuk dan sebagiannya terbuang karena ketiadaan es batu. Dua pabrik es berskala kecil yang ada di sana tak sanggup memenuhi permintaan es oleh para nelayan dan penampung ikan segar.

Dalam musim tingginya produksi ikan laut seperti sekarang ini, setiap bulan ikan-ikan yang terbuang bisa mencapai belasan ton. “Banyak ikan yang terpaksa dibuang ke laut karena membusuk lantaran tak ada es,” ungkap Johan Gunawan, seorang penampung ikan segar di Sinabang.

Johan berkata, pada musim banjir ikan, ia sangat kewalahan menampung ikan dari nelayan setempat. “Kalau seluruhnya saya beli, maka saya akan berisiko rugi besar lantaran terbatasnya stok es untuk menjaga kesegaran ikan. Ujung-ujungnya banyak ikan dibuang karena tak bisa dikirim ke luar daerah dalam keadaan segar.”

Artinya, andaikan es batu batangan mampu melayani kebutuhan, maka ikan-ikan hasil tangkapan nelayan Simeulue bisa dikirim lebih banyak lagi ke Sumatera Utara atau luar negeri. Dengan demikian, harga ikan meningkat dan nelayan di pulau itu yang jumlahnya puluhan ribu orang akan lebih sejahtera.

Ya, tapi hingga sekarang nasib nelayan Simeulue, dan nelayan Aceh pada umumnya memang belum sejahtera. Di musim produksi ikan meningkat, hasil tangkapan mereka tak berharga. Dan, harga ikan hanya mahal pada saat para nelayan tradisional tak bisa melaut karena cuaca buruk.

Kasus pembuangan ikan atau membusuknya ikan-ikan hasil tangkapan nelayan Simeulue itu, harusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Simeulue dan pemerintah provinsi, bahkan pusat. Ini bukan soal penyediaan es batu untuk kebutuhan nelayan semata, tapi ini harus dipandang sebagai kelalaian pemerintah.

Kita harus melihat kasus itu sebagai minimnya kebijakan antisipatif oleh pemerintah kita menyangkut nasib orang-orang kecil, seperti nelayan dan petani. Sebab, selain membusuknya ikan karena ketiadaan es batangan, beberapa waktu lalu banyak pula sawit masyarakat yang membusuk karena terbatasnya kilang pengolah kelapa. Dan setiap kali “booming” produksi sawit masyarakat, persoalan jatuhnya harga karena berbagai masalah, tetap membayangi petani kelapa sawit.

Dua contoh itu cukuplah untuk menggambarkan bahwa hingga kini pemerintah masih minim kebijakan-kebijakan yang antisipatif. Nelayan diberi peralatan kerja serta diajari cara menangkap ikan secara modern agar hasil tangkapan melimpah, tapi tidak diantisipasi dengan penyediaan cold storage dan es batu yang mencukupi. Demikian pula masyarakat diberi bibit unggul kelapa sawit secara gratis, bahkan ada pula yang kebagian lahan secara gratis pula, tapi tidak dibarengi dengan pendirian pabrik kelapa sawit untuk mengantisipasi “booming” produksi.

Untuk jangka panjang itu harus menjadi perhatian serius pemerintah. Jika tak punya duit untuk membangun cold storage dan PKS, maka tugas pemerintah adalah mencari investor swasta. Tentu dengan memberi berbagai kemudahan demi memperbaiki nasib nelayan.

Sedangkan untuk jangka pendek, bagi nelayan Simeulue mungkin perlu diajari cara mengasinkan secara modern atau yang berselera pasar. Kapan-kapan, orang luar yang datang ke Simeulue bukan hanya cari lobster, tapi juga tertarik pada ikan asinnya. Amin.

—————————————————————

Syedara lon, Program “Cakrawala” Radio Serambi FM bisa Anda dengarkan setiap Hari, Mulai Senin – Jum’at pada pukul 10.00-11.00 Wib.

Program ini mengupas “Salam Serambi” dengan menghadirkan narasumber berkompeten secara langsung ataupun by phone.
dan syedara lon juga bisa berpartisipasi dalam Acara ini di nomor telp (0651)637172 dan 0811689020 / SMS 0819 878 666