Podcast » Cakrawala

Sudah Illegal, Bahaya Pula

19 February 2014 - 17:54 WIB

Tim Liputan Eksklusif harian ini kemarin menyodorkan satu hasil investigasi yang sangat menakutkan kita. Penggunaan merkuri secara illegal oleh para penambang emas yang tak resmi pula, ternyata kini menjadi bagai “bom waktu” bagi masyarakat luas dan lingkungan di sana. Ya, wabah Minimata tengah mengancam kehidupan manusia dan biota air, di kawasan penambangan emas Gunong Ujeuen (Aceh Jaya), Geumpang (Pidie), dan beberapa lokasi lainnya.

Pertanyaan besar kita terhadap fenomena ini; Mengapa sindikat penyeludupan, perdagangan, dan pemakaian merkuri secara illegal itu tidak pernah tersentuh aparat penegak hukum di negeri dan daerah ini. Sesungguhnya, jika ada rasa peduli, serapi apapun sindikat itu bekerja, pasti bisa terendus oleh aparat kita. Toh kita yakin, aparat lebih hebat dari sindikat perdagangan bahan kimia sangat beracun itu.

“Pemakaian merkuri di sejumlah tambang emas di Aceh sudah sangat meresahkan. Boleh dibilang, bukan lagi kiloan tapi sudah mencapai ton jumlahnya,” kata seorang pejabat Distamben Aceh.

Menurut hasil riset, perkiraan total merkuri yang berputar di tambang emas Gunong Ujeuen saja, per hari mencapai 600 kilogram. Estimasi tersebut diperoleh dari kebutuhan merkuri dalam sekali penggilingan yang mencapai 0,7 kg. Bila dalam sehari semalam sebuah kilang dapat melakukan delapan kali penggilingan, maka total kebutuhan merkuri per hari mencapai 6 kg. Angka tersebut dikalikan 100 titik penggilingan yang beroperasi, sehingga menghasilkan 600 kg merkuri per hari. Maka satu tahun akan menghasilkan 21,9 ton merkuri.

Merkuri atau air raksa adalah logam cair yang sangat beracun bagi semua makhluk hidup. Tahun 1950-an, ratusan orang mati di Minamata, Jepang, akibat terpapar merkuri. Sebagian lagi cacat. Rumah sakit dipenuhi pasien yang kejang-kejang, lumpuh, dan mengalami gangguan kerja sistem saraf. Bayi-bayi yang lahir mengalami keterbelakangan mental dan cacat. Sebagiannya meninggal setelah beberapa hari dilahirkan.

Ingat, dampak parah akibat paparan itu tak dirasakan segera. Dalam beberapa laporan ilmiah menyebutkan, Wabah baru terlihat puluhan tahun kemudian secara berantai. Ketika merkuri masuk ke sistem perairan dan rantai makanan, maka melahirkan dampak ekologis yang luar biasa. Ikan-ikan di sungaui berisiko terkontaminasi. Lalu, lantaran sebagian limbah merkuri juga dibuang ke sawah, maka tanaman padi dan palawija yang menyerap merkuri, pun tak aman dikonsumsi.

Itulah sekilas “ancaman maut” merkuri. Dan, karena itu, sambil menunggu aparat penegak hukum bekerja menertibkan perdagangan, peredaran, dan penggunaan merkuri secara illegal, masyarakat disodorkan satu pilihan untuk beralih ke alat pengolah emas nonmerkuri dan sianida yang dibuat seorang peneliti FMIPA Unsyiah.

Alat ini dibuat menggunakan Dana Otsus 2013 dalam sebuah pilot project yang digagas Bapedal Aceh. Kabarnya, alat pengolah emas nonmerkuri ini mampu menghasilkan lebih 90 persen bijih emas. Sedangkan dengan sistem merkurisasi cuma mampu menghasilkan 40 persen bijih emas. Pertanyaannya, sudah siapkan pemerintah melayani kebutuhan penambang emas dengan alat ini?

————————————————————

Syedara lon, Program “Cakrawala” Radio Serambi FM bisa Anda dengarkan setiap Hari, Mulai Senin – Jum’at pada pukul 10.00-11.00 Wib.

Program ini mengupas “Salam Serambi” dengan menghadirkan narasumber berkompeten secara langsung ataupun by phone.
dan syedara lon juga bisa berpartisipasi dalam Acara ini di nomor telp (0651)637172 dan 0811689020 / SMS 0819 878 666

Untuk Selengkapnya, silahkan dengarkan podcast di bawah :