News Update » Kutaraja » News Update

Kekayaan Alam Aceh belum Mampu Makmurkan Rakyatnya

25 November 2015 - 16:28 WIB

berlibur-ke-sabang-serambi_20150620_182030 SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengatakan, kekayaan alam Aceh memang berlimpah, tapi belum mampu secara maksimal dikelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran dan pembangunan Aceh itu sendiri.

Pernyataan itu dia kaitkan dengan fakta bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya ternyata tidak menggunakan batubara lokal, melainkan dipasok dari Kalimantan lantaran kualitas batubara lokal tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Batubara lokal hanya memiliki 3.100-3.400 kalori/kilogram, sedangkan batubara Kalimantan kandungan kalorinya mencapai 5.000 kalori/kg.

“Kondisi ini menjadi bukti, ternyata kekayaan alam Aceh belum mampu secara maksimal dikelola untuk memakmurkan rakyat Aceh,” ujar M Nur saat membuka Diskusi Tata Kelola Pertambangan PLTU dan Batubara Demi Keberlangsungan Penyelamatan Lingkungan Hidup di Aceh, Selasa (24/11) siang di 3 in 1 Cafe, Banda Aceh.

M Nur khawatir, kondisi itu justru akan menyebabkan Aceh hanya menerima dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA) oleh pihak luar. “Aceh harus menanggung kerugian ekologi, konflik sosial, bencana alam, rusak kawasan, dan dampak negatif lainnya,” sebut M Nur.

Hal itu, menurut M Nur, harus menjadi perhatian serius semua pihak, sehingga sedini mungkin terdiskusikan sejumlah kemungkinan yang akan terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada kelangsungan hidup di Aceh.

Setelah dibuka Direktur Walhi Aceh, diskusi itu dibahani oleh Pius M Ginting selaku Kepala Unit Kajian Walhi Pusat, Elly Sufriadi (Dosen FMIPA Unsyiah), dan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Teuku Syakur yang diwakili oleh stafnya, Ir Sugeng Jarot.

Para narasumber mengatakan, bisnis PLTU yang bahan bakunya dari batubara pastilah ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya, PLTU itu akan menambah peluang kerja dan melengkapi ketersediaan energi listrik di Aceh yang pada tahun awal-awal pascatsunami kondisinya justru minus.

Adapun dampak negatifnya, industri batubara menghasilkan polutan (zat pencemar) akibat pembakaran. Di antaranya menghasilkan sulfadioksida (S02), karbondioksida (C02), bahkan merkuri (Hg), mengingat batubara berasal dari barang tambang.

Zat-zat polutan itu, dalam konsentrasi tertentu, dapat pula membahayakan kesehatan manusia, termasuk mempertinggi kasus serangan jantung. “Efek negatif lainnya adalah hujan asam. Efek dari hujan asam ini menyebabkan umur bangunan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya,” kata Elly Sufriadi.

Pius Ginting juga menyebut batubara merupakan sumber energi yang emisinya paling kotor, karena lebih banyak menimbulkan polusi udara dibanding dengan gas misalnya. Namun, dengan tata kelola yang baik dan ramah lingkungan, ia optimis dampak negatif dari pembakaran batubara untuk menggerakkan turbin PLTU bisa ditekan seminimal mungkin.

Di Aceh saat ini dari 112 izin usaha pertambangan (IUP), terdapat 16 IUP yang menggunakan bahan batubara. Tersebar di Aceh Barat 6 IUP, di Nagan Raya (5 IUP), Aceh Singkil (4 IUP), dan Kota Subulussalam (1 IUP). Dari 16 IUP batubara tersebut, yang sudah memiliki izin produksi hanya 5 IUP, sedangkan sisanya masih dalam tahap izin eksplorasi.

Total kawasan yang terpakai untuk pertambangan batubara mencapai 77.541 ha. Nagan Raya merupakan kabupaten yang memiliki areal pertambangan batubara terluas, yaitu 36.367 ha (47%) dari total tambang batubara di Aceh. (dik)