Podcast » Cakrawala

Reintegrasi Pasca-MoU Helsinki Lebih Buruk dari Era DI/TII

14 April 2015 - 17:48 WIB

Laporan : Jalimin | Banda Aceh

BANDA ACEH – Proses reintegrasi di Aceh pasca-MoU damai antara Pemerintah RI dengan GAM dinilai tidak berjalan maksimal. Padahal, situasi dan kondisinya sangat mendukung dibandingkan dengan proses perjanjian damai antara DI/TII di Aceh dengan Pemerintah RI pada tahun 1959.
“Pada era kesepakatan damai Helsinki antara Pemerintah Aceh dengan GAM, banyak mantan kombatan GAM yang berkesempatan jadi anggota parlemen dan pemimpin daerah. Seharusnya, dengan peran yang besar itu, menjadi pendorong strategis bagi percepatan proses reintegrasi mantan kombatan GAM,” kata Wakil Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Sahlan Hanafiah MA, Senin (13/4) pagi.
Sahlan menyatakan hal itu dalam talkshow Cakrawala membedah Salam (editorial) Serambi Indonesia selaku narasumber tamu di Radio Serambi FM 90,2 MHz dengan tema “Berharap Gangguan Keamanan Segera Berakhir”. Sedangkan narasumber internal dalam talkshow itu adalah Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika.
Mengutip pendapat Prof Johan Galtung, Sahlan Hanafiah mengatakan bahwa perdamaian Aceh pascahampir sepuluh tahun MoU Helsinki masih berada pada status perdamaian negatif. Artinya, masih sebatas penghentian perang dan perlucutan senjata. Tapi belum mengarah ke damai positif yang ditandai dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat pascakonflik. Bahkan jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Sektor pelayanan publik pun masih jalan di tempat. “Saya nilai, proses reintegrasi mantan DI/TII dahulu itu jauh lebih bagus dari proses reintegrasi MoU Helsinki antara GAM dengan pemerintah RI,” ujar Sahlan.

Kondisi ini, lanjut Sahlan, lebih buruk dari pencapaian reintegrasi antara DI/TII dengan Pemerintah RI pada era ’50-’60-an. Dengan keberadaan para mantan kombatan sebagai pengambil keputusan di pemerintahan maupun budgetting (penetapan anggaran) di legislatif, seharusnya proses reintegrasi berjalan lebih cepat dari proses reintegrasi semasa DI/TII. “Tapi nyatanya tidak,” kata putra Pidie Jaya ini.
Ia menilai, proses reintegasi Aceh gagal, dengan indikasi masih banyak mantan kombatan GAM yang kondisi ekonominya sangat lemah, sehingga memicu kecemburuan terhadap kelompok lain.
Jebolan UGM Yogyakarta ini juga melihat, proses perdamaian pasca-MoU Helsinki lebih banyak diperankan oleh masyarakat secara natural dan sangat sedikit peran pemerintah. Akibat pembiaran itu, maka muncul friksi-friski baru yang menjadi kelompok-kelompok perlawanan di Aceh. Bahkan, aksi-aksi kriminal yang berlangsung di Aceh pada bulan-bulan terakhir, kemungkinan besar dilakukan oleh kelompok baru tersebut.
Jika hal ini terus dibiarkan, katanya, maka proses perdamaian di Aceh kian memburuk dan makin memperparah suasana perdamaian di Aceh menjelang atau sesudah sepuluh tahun MoU Helsinki ditandatangani.
Aksi kriminal yang semakin tinggi, terutama di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur, sebut Sahlan, juga dipicu oleh kelompokkelompok yang muncul pasca-MoU Helsinki. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, dengan posisi Aceh yang terbuka itu masuknya senjata api ilegal juga sangat besar.
Dia ingatkan bahwa konflik Aceh berlangsung sangat lama, mencapai 29 tahun, sehingga untuk mengembalikan kepercayaan para pihak, juga butuh waktu yang cukup lama dan sangat berat.
Untuk memulihkan kondisi keamanan di Aceh, Sahlan berpendapat, tidak hanya bergantung pada tenaga kepolisian, melainkan semua kelompok strategis. Pemerintah Aceh pun harus berperan lebih besar dalam perdamaian Aceh dan mewujudkan proses reintegrasi yang tersendat itu.
Ia tambahkan, akhir-akhir ini banyak kelompok yang melakukan kejatahan di Aceh. Mereka selalu tidak mengaku berbuat tindak kriminal dan selalu menyanggah bukan kelompoknya yang berbuat kriminal. “Bila terjadi suatu insiden kriminal, semua kelompok buang badan,” sindir Sahlan Hanafiah.
Sementara itu, Redpel Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika mengatakan, dalam tiga pekan operasi di Nisam dan sekitarnya, polisi sudah banyak menemukan barang bukti dan tersangka pelaku kriminal di Aceh Utara. Atas keberhasilan itu, maka mapping (pemetaan) masalah keamanan sebetulnya menjadi lebih mudah, sehingga siapa pun pelaku dan pelindungnya akan sangat mudah diungkap, sepanjang kepolisian mau. “Temuan barang bukti dan para tersangka ini pun akan berpengaruh besar terhadap membaiknya keamanan di Aceh menjelang peringatan sepuluh tahun Aceh damai,” ujar Yarmen mengakhiri dialog yang dipandu Dosi Alfian dari Serambi FM. (min)