Walhi: 14 Ruas Jalan di Aceh Berpotensi Longsor
5 November 2014 - 16:03 WIB
SERAMBIFM.COM, BANDA ACEH – Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengatakan, saat ini terdapat 14 ruas jalan lintas tengah di Aceh yang memotong hutan lindung, sehingga berpotensi mengalami bencana ekologi berupa longsor pada bulanbulan mendatang bahkan tahun-tahun berikutnya.
Menurutnya, bencana ekologi di Aceh akan terus meningkat setiap tahun. Terutama karena struktur tanah yang labil, pengawasan pembangunan yang lemah, perusakan hutan yang massif dalam kawasan hutan, serta penerbitan kebijakan yang mengubah fungsi hutan Aceh.
“Semua ini akan memperparah kondisi lingkungan di Aceh,” kata Muhammad Nur dalam siaran pers Walhi Aceh yang dikirim ke Serambi, Selasa (4/11), menanggapi banyaknya terjadi bencana berupa tanah longsor dan banjir, bahkan banjir bandang di Aceh dalam dua pekan terakhir.
Musim hujan dua minggu terakhir, kata M Nur, menimbulkan berbagai persoalan sosial di masyarakat yang diakibatkan oleh bencana banjir dan longsor yang menimpa Aceh, seperti yang kini terjadi di Gunung Paro dan Geureutee, Aceh Besar. “Ini menunjukkan bahwa peringatan Walhi Aceh tentang ancaman bencana ekologi kini terbukti,” ujarnya.
Melambatnya respons terhadap bencana longsor di Gunung Paro hingga Geureutee saat ini, ulas M Nur, membuktikan bahwa tidaklah mudah merespons bencana yang terjadi. “Kerugian itu seharusnya menjadi pelajaran penting ke depan untuk menciptakan pembangunan yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Ia tegaskan bahwa Walhi Aceh akan terus menentang pembangunan yang mendatangkan kerugian bagi masyarakat/publik.
Terkait dengan wacana pembangunan terowongan Geurutee, menurut M Nur, itu pun harus mendapat kritik, saran, dan respons dari lintas kelembagaan sebelum direalisasikan.
Ia ingatkan bahwa kejadian longsor merupakan bencana ekologi di Aceh yang paling tinggi intensitasnya di Aceh setelah banjir. Hal ini mengindikasikan bahwa Aceh merupakan daerah rawan bencana. Semakin berisiko karena 14 ruas jalan yang dibangun memotong hutan lindung (Lihat 14 ruas jalan lintas tengah)
Apalagi secara geografis, Aceh diimpit oleh kawasan pegunungan tinggi dan perbukitan, sehingga makin rawan mengalami bencana ekologi.
“Kondisi ini sangat layak mendapat perhatian serius dari Pemerintah Aceh dalam menciptakan pembangunan yang lestari serta nyaman bagi publik dan mengacu pada aspek standar lingkungan,” ujarnya.
Ia prihatin, Aceh yang kaya akan sumber daya hutan (mencapai 3,5 juta hektare) kini telah berubah menjadi bencana ekologi. Kondisi ini akan terus menghantui Aceh sekarang maupun di masa mendatang, diakibatkan oleh perusakan hutan secara terbuka ataupun tertutup.
Ia bahkan menilai Pemerintah Aceh tidak fokus pada pelestarian hutan yang menjadi titik awal karut marutnya kondisi lingkungan di Aceh. “Terbukti dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 941 Tahun 2013 yang mengubah kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 80.256 hektare,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut M Nur, illegal logging dan kebakaran hutan, ikut memperparah deforestasi hutan yang menyebabkan hilangnya hutan seluas 1.751 hektare.
Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit juga terjadi di 13 kabupaten/kota dengan total luas 286.872 hektare lebih dan sembilan perusahaan berada di kawasan hutan lindung seluas 921.389 ha, semua itu menunjukkan bahwa hutan Aceh mengalami deforestasi dan degradasi yang tinggi. (dik)