Podcast » Cakrawala

Cerita Ironi Negeri Bergelimang Rupiah

20 June 2014 - 22:04 WIB

Sebuah kapal kayu yang mengangkut 97 migran Indonesia asal Aceh–termasuk wanita dan anak-anak–karam di perairan sekitar Pulau Carey, Kuala Langat, Selangor, Malaysia, Rabu (18/6) dini hari. Kabar terakhir sekitar sembilan orang dipastikan tewas, setelah sebelumnya 31 orang dinyatakan hilang.

Itulah nasib kekinian anak negeri nusantara, yang lebih memilih menyabung nyawa di negeri seberang, tinimbang melakoni nasib sebagai pengangguran di negeri sendiri. Semua itu didalihkan dengan rekam jejak endatu yang gemar merantau hingga ke negeri jiran sekalipun.

Kali ini nasib pahit itu diterima para migran Aceh, yang telah sukses menyeberang secara gelap dan juga pulang kampung dengan cara gelap pula. Mereka rindu dengan aroma makmeugang serta tadaruz atau sekadar kongkow di pelataran meunasah saat Ramadhan tiba.

Khusus untuk migran Aceh, inilah sebuah cerita ironi dari negeri yang kini sedang dilimpahi gelimang rupiah, paska tsunami dan konflik berkepanjangan. Catatan harian ini mengungkapkan, terhitung sejak tahun 2008 hingga 27 tahun ke depan, Aceh diguyur dengan dana melimpah yang mencapai Rp 100 triliun. Uang segunung yang disebut dengan dana otonomi khusus atau Otsus itu, hanya diberikan untuk Aceh, Papua dan Papua Barat. Dengan nilai rata-rata 2 persen dari total Dana Alokasi Umum (DAU) nasional setiap tahunnya.

Terhitung sejak tahun 2008 hingga 2013, dana Otsus yang dialirkan ke Aceh mencapai Rp 27,3 triliun, dengan jumlah yang meningkat setiap tahunnya. Mulai tahun 2008 dengan nilai Rp 3,5 triliun membengkak hingga angka Rp 6,82 triliun pada tahun 2014 seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.07/2013.

Guyuran dana Otsus yang terus bertambah itu membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) membengkak sejak lima tahun terakhir. Dengan dana melimpah ruah itu, Aceh tiba tiba melesat ke peringkat tujuh terbesar pendapatan per kapita di Indonesia.

Sebuah prestasi yang membanggakan sekaligus memilukan. Masalahnya uang itu hanya menumpuk pada beberapa gelintir, lalu dihitung dengan membagi rata secara per kepala. Yaaa..seperti pendapatan per kapita Indonesia yang tinggi, namun uang hanya dimiliki beberapa gelintir taipan saja.

Waktu menjadi bukti, APBA yang jumlahnya melimpah ruah, tidak mampu dikelola sesuai ekspektasi, terutama untuk kemaslahatan umat. Di tengah kondisi uang yang melimpah ruah, Pemerintah Aceh ternyata ‘gagal menghabiskan’ dana menggunung itu setiap tahunnya, hingga tercatat sebagai sisa lebih pelaksanaan anggaran (Silpa).

Dimulai tahun 2006 s/d 2008 dengan kisaran Silpa senilai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Sehingga dalam tiga tahun terakhir, dana Silpa itu dalam kisaran Rp 1,51, 1,67 dan Rp 1,3 triliun pada tahun 2013.

Sementara akumulasi dana APBA dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, 2012 s/d 2014 adalah Rp 9,51, 11,78 dan Rp 13,36 triliun rupiah, atau terus membengkak setiap tahunnya.

Angka yang fenomenal tersebut makin terasa miris ketika menyadari angka pengangguran di Aceh tahun 2013 jumlahnya sebesar 210 ribu orang. Inilah yang dinamakan ironi, uang melimpah tak mampu dimanfaatkan, formasi kerja tak tersedia untuk rakyat, karena tidak bertumbuhnya lapangan kerja secara signifikan. Buktinya untuk telur saja kita ‘disusui’ Medan. Karenanya jangan heran jika akhirnya–dengan dalih etnis perantau–anak negeri lalu berjibaku menyambung hidup di negeri orang. Kini, saat tragis seperti tragedi di Kuala Langat Malaysia, kita hanya bisa berkata, semua biaya untuk korban kita tanggung. Itu saja!

————————————————————

Syedara lon, Program “Cakrawala” Radio Serambi FM bisa Anda dengarkan setiap Hari, Mulai Senin – Jum’at pada pukul 10.00-11.00 Wib.

Program ini mengupas “Salam Serambi” dengan menghadirkan narasumber berkompeten secara langsung ataupun by phone.
dan syedara lon juga bisa berpartisipasi dalam Acara ini di nomor telp (0651)637172 dan 0811689020 / SMS 0819 878 666