Podcast » Cakrawala

Tak Bisakah Berpolitik tanpa Kekerasan?

4 March 2014 - 19:13 WIB

Lagi, kekerasan terhadap insan yang bersinggungan dengan dunia politik, terjadi di Aceh. Kali ini menimpa anggota Satuan Tugas Partai Aceh (Satgas PA) bernama Taufiq alias Banggala, 33 tahun, warga Desa Abuek Jaloh, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Taufiq mengalami luka bacok di beberapa bagian tubuhnya setelah terlibat bentrok fisik dengan sekelompok orang yang merupakan Banser Rakyat Aceh.

Sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia hari Minggu kemarin, insiden berdarah itu terjadi di Desa Geundot, Jangka, Bireuen pada hari Sabtu (1/3) sekira pukul 13.00 WIB. Akibat dibacok dengan parang dan pedang serta dipukul dengan kayu, korban luka robek di bagian jari, lengan kiri, punggung, tumit kanan, bahkan dahi. Yang juga mengagetkan, korban diserang oleh lebih dari sepuluh orang yang datang tiba-tiba dengan mengendarai mobil Suzuki APV.

Sabtu lalu, Serambi juga mewartakan kasus kekerasan yang menimpa mobil Ford milik caleg dari Partai Damai Aceh (PDA) yang dibakar di posko pemenangan yang sang caleg, Teungku Razuan, di Gampong Pante Raja, Kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan, Jumat (28/2) dini hari.

Insiden itu hanya selang sehari dari serangkaian bentrokan antara kader Partai Nasional Aceh (PNA) dengan kader Partai Aceh (PA) di Hagu Selatan, Lhokseumawe. Kita juga mencatat adanya insiden pemukulan Keuchik PA. Krueng Seunong, Aceh Utara, yang diyakini polisi merupakan satu rangkaian dengan kejadian sebelumnya, yakni penganiayaan caleg PNA dan perusakan mobil Avanza milik kader PA.

Dilihat dari data itu, dalam sehari di Aceh saat ini terjadi antara satu sampai tiga kasus kekerasan berbau politik. Semakin dekat ke masa kampanye terbuka, 6 Maret nanti, tren kekerasan itu menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kita pantas bertanya, tak bisakah kita di Aceh, negeri yang aktor konflik maupun warganya sepakat untuk memilih perdamaian sebagai solusi penyelesaian konflik, tapi masih saja melakoni kekerasan ketika berpolitik?

Kita tahu perdamaian yang dicapai Aceh pada 15 Agustus 2005 melalui MoU Helsinki, bukanlah terjadi secara serta-merta. Permadaian itu adalah buah dari kesadaran semua pihak untuk menghentikan pertikaian politik, karena sudah muak pada drama kekerasan yang dari tahun ke tahun makin meningkat eskalasinya. Tapi ternyata setelah damai tercipta, sayap militer GAM bertransformasi menjadi kekuatan politik, dan partai-partai politik lokal terbentuk, ternyata kita belum bisa berpolitik secara santun. Betapa rugi dan tak konsistennya para politisi, caleg, dan tim sukses caleg di Aceh yang ramai-ramai ikut deklarasi dan ikar pemilu damai, tapi kemudian bertindak berbeda dengan apa yang diikrarkan?

Ambisi politik bukanlah hal yang terlarang, tapi menodai ambisi untuk merebut kekuasaan dengan teror dan aksi kekerasan, itulah yang sangat kita sesalkan dan pantas kita kutuk bersama. Untuk menghentikan semua itu, maka marilah semua kita sepakat, apakah itu politisi, caleg baru maupun incumbent, termasuk pada tim sukses dan simpatisannya mengulang kembali ikrar di dalam hati untuk bersaing secara fair dan tidak akan melakukan kekerasan terhadap pihak lain, meskipun ia dikasari. Percayakan pengusutan dan penanganan kasus tersebut kepada aparat keamanan, karena itu memang tugas mereka. Cegah jangan sampai kader partai, caleg, atau tim suksesnya bertindak menjadi jaksa dan hakim sekaligus terhadap pihak yang bersalah.

Untuk itu, aparat kepolisian di Aceh, lebih-lebih di bawah Kapolda yang baru dilantik, harus lebih enerjik dan profesional serta tidak pilih kasih dalam menindak siapa pun di kalangan kader partai atau simpatisan partai yang masih suka melakukan tindak kekerasan untuk memenangkan ambisi politiknya.

Di sisi lain, mari kita tanamkan kesadaran untuk berpolitik dengan menjunjung tinggi fairness, hak asasi manusia, perdamaian, dan nilai-nilai ilahiat, karena kemenangan dan kekuasaan yang dicapai dengan kecurangan dan kekerasan, tidak akan pernah mendapat restu dan inayah dari Allah. Untuk apa berkuasa, tapi menyebabkan Allah murka. Untuk apa menang tapi dengan cara-cara yang tidak diridai Allah Sang Pencipta. Nah, kalau dengan cara baik dan santun kemenangan politik masih bisa diraih, kenapa harus mencelupkan tangan kita ke najis dan dosa untuk bisa berkuasa? Lebih baik tak berkuasa jika hanya untuk menambah untaian dosa.

————————————————————-

Syedara lon, Program “Cakrawala” Radio Serambi FM bisa Anda dengarkan setiap Hari, Mulai Senin – Jum’at pada pukul 10.00-11.00 Wib.

Program ini mengupas “Salam Serambi” dengan menghadirkan narasumber berkompeten secara langsung ataupun by phone.
dan syedara lon juga bisa berpartisipasi dalam Acara ini di nomor telp (0651)637172 dan 0811689020 / SMS 0819 878 666

Untuk Selengkapnya, silahkan dengarkan podcast di bawah :