Podcast » Cakrawala

Sampai Kapan Ekonomi Kita Terjajah

28 February 2014 - 18:26 WIB

Lagu klasik dengan titel ‘pemerasan’ kembali didendangkan para sopir angkutan barang Aceh-Sumut. Sepertinya suara para awak angkutan itu sudah parau, dalam menyanyikan derita batin mereka. Namun sejauh ini tetap saja seperti gema suara yang membentur dinding dan koridor, lalu hilang terbawa angin semilir. Lelah!

Kali ini, walau sudah terasa lelah dan berbalut kepasrahan, seratusan sopir dan awak truk asal Aceh yang tergabung dalam Himpunan Mobilisasi Barang di Darat (Hipmobar), berunjuk rasa ke Kantor Gubernur Sumut di Jalan Diponegoro, Medan Petisah, Rabu (26/2) siang. Mereka sengaja memarkirkan seratusan truk di jalan raya, untuk menarik perhatian pengguna jalan. “Dua minggu lalu kami juga demo ke sini. Tapi sama sekali gak ada hasil,” ujar seorang awak truk, Hanafiah.

Para awak truk itu mengaku selalu diperas oknum petugas Jembatan Timbang di Sumatera Utara atau area perbatasan, dengan kisaran nilai mencapai 300 s/d 450 ribu per truk. Sementara juga diakui ada pos polisi yang meletakkan kardus, layaknya menghimpun sumbangan bencana atau pembangunan sarana ibadah. Duh memprihatinkan!

Tanpa bermaksud mencari kambing hitam atau pembenaran, mari kita introspeksi diri, mengapa hal yang kontraproduktif dan diskriminatif itu terjadi. Sudah bukan rahasia lagi jika truk antarpropinsi yang lalu lalang di perbatasan, umumnya memuat melebihi tonase jalan. Di sisi lain, perbatasan Aceh-Sumut juga rawan penyelundupan ganja serta bahkan narkoba jenis sabu misalnya.

Kondisi itulah kemudian yang dimanfaatkan oleh pihak pihak yang seakan menjadi hakim yang adil, menegakkan peraturan. Namun ujung-ujungnya adalah uang sebagai pemungkas semua masalah. Belakangan kondisi makin parah, ketika uang pelicin sudah menjadi kewajiban, tak mau tahu apakah tonase lebih atau memenuhi persyaratan. lebih parah lagi, tak ada urusan timbang menimbang atau surat menyurat, tiba-tiba kardus mie instant sudah teronggok manis di atas kursi tepi jalan. Kalau begini, uang adalah pembuka jalan.

Jika kita mengkaji secara lebih dalam, kondisi itu muncul karena ketidakseimbangan ekonomi antara Aceh dan Sumut. Siapapun tahu, dominasi ekonomi Sumut terhadap Aceh demikian besar. Dan ini dipelihara secara lestari dan mati-matian oleh mafia ekonomi itu sendiri. Mulai dari sebutir telur, sejumput sayur mayur hingga bahan bangunan, kita tergantung sama Sumut. Kita belum bicara soal para eksekutif dan kalangan borjuis Aceh yang juga menghabiskan akhir pekan di Medan sana. Seakan tanpa Medan kita menjadi kelimpungan serta kebingungan.

Kita pantas bertanya, apa yang telah dilakukan para stake holder atau pemangku kebijakan di propinsi ini, untuk mengurangi dominasi ekonomi Sumut atas Aceh? Padahal kita memiliki dana pembangunan melimpah ruah yang dikucurkan dari Jakarta, jauh melebihi Propinsi Sumut. Dengan total dana yang ada, Aceh menjadi salah satu propinsi terbesar di luar Jawa yang menerima kucuran dana dari Jakarta.

Yang kita tahu, hingga kini nanggroe ini masih terjajah secara ekonomi oleh propinsi tetangga sana. Dan itu sepertinya memang dinikmati serta terlestarikan. Buktinya, sebuah data mengungkapkan, Aceh termasuk 7 propinsi terkaya, sekaligus juga salah satu termiskin di Indonesia. Dan suara Bung Sopir pun akan makin parau akibat penindasan berkepanjangan. Siapa yang mau peduli?

—————————————————————-

Syedara lon, Program “Cakrawala” Radio Serambi FM bisa Anda dengarkan setiap Hari, Mulai Senin – Jum’at pada pukul 10.00-11.00 Wib.

Program ini mengupas “Salam Serambi” dengan menghadirkan narasumber berkompeten secara langsung ataupun by phone.
dan syedara lon juga bisa berpartisipasi dalam Acara ini di nomor telp (0651)637172 dan 0811689020 / SMS 0819 878 666

Untuk Selengkapnya, silahkan dengarkan podcast di bawah :