Podcast » Cakrawala

Nama Bukan Masalah Yang Penting Arahnya

27 November 2013 - 20:10 WIB

PEMAKAIAN istilah ‘Dinul Islam’ oleh Pemerintah Aceh untuk menyebut pelaksanaan syariat mulai mendapat sorotan dari sejumlah kalangan sejak dua tahun terakhir. Beberapa pihak menduga istilah itu sengaja dipopulerkan untuk menghindari kesan ekstrem atau bahkan angker di Aceh.

Sebagaimana disiarkan harian ini kemarin, sorotan itu antara lain muncul dalam forum evaluasi 11 tahun pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Prof Dr Rusjdi Ali Muhammad SH berpendapat, istilah ‘Dinul Islam’ itu mungkin sengaja dipopulerkan untuk mengurangi resistensi dari dunia luar.

Benar saja, Abdullah Saleh, Anggota Komisi A DPRA mengemukakan, “Kata syariat Islam selama ini dinilai agak angker makanya diganti menjadi dinul Islam, semua ini dilunakkan. Jadi dinul Islam tidak angker lagi bagi kita. Saat ini Aceh menjadi perhatian seluruh dunia dalam pelaksanaan syariat Islam. Karenanya, Aceh harus mengembangkan Islam yang tidak berkesan radikal dan menakutkan.”

Selain itu, wartawan harian ini juga meminta pendapat dari luar forum evaluasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Ternyata, kalangan ulama dan santri dayah di Aceh tidak mempermasalahkan apapun nama atau istilah yang dipakai untuk pelaksanaan syariat Islam di provinsi ini. Yang penting diingat, tidak ada upaya untuk mengalihkan isu dengan tujuan mengulur-ulur waktu pengesahan qanun yang mengatur tentang jinayah dan hukum acara jinayah.

Pertukaran kata “syariat” menjadi “dinul” dinilai tidak akan berujung pada pergesaran makna atau nilai yang terkandung di dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Bahkan pertukaran istilah itu akan lebih mencakup segala aspek ruang lingkup Islam, mulai dari akidah, syariat, dan muamalah.

Ya, siappun memang memang tak perlu banyak membuang pikiran dan tenaga untuk berdebat soal syariat atau dinul. Toh, seperti diingatkan seorang aktivis perempuan Aceh, Khairani Arifin, bahwa banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan syariat Islam saat ini. “Kita lupa bahwa Islam itu juga harus menjawab kemiskinan, bagaimana menjawab pelayanan publik yang buruk, dan bagaimana menyelesaikan kasus kekerasan pada anak,” katanya.

Ada dua hal sebetulnya yang paling penting mendapat perhatian pemerintah dan dewan terkait deinul ISlam di Aceh. Pertama, konsentrasi penerpannya jangan terlalu menyedot perhatian pada hukuman, tapi bagaimana menyadarkan umat untuk tidak melakukan pelanggaran syariat. Artinya, penerapan dinul Islam ke depan lebih memberi perhatian pada aspek pencegahan.

Kedua, Dinul Islam yang cakupannya lebih luas juga harus memperhatikan hal-hal yang selama ini telah terabaikan. Antara lain, seperti dikatakan Prof Rusjdi Ali Muhammad SH, lemahnya legal drafting (pembuatan peraturan) dalam pelaksanaan syariat. Ia mencontohkan, zakat di Aceh yang dapat menjadi pengurang pajak penghasilan. “Itu khas Aceh dalam UUPA, tapi sampai sekarang belum terlaksana, kenapa? Ya ada persoalan dengan menteri keuangan, soal pajak itu soal vertikal.”

Artinya, jika penyusunan qanun-qanun dan aturan-aturan lain yang berhubungan dengan Pusat dapat segera diselesaikan, maka akan lebih gampang bagi Aceh menyelesaikan persoalan-persoalan yang paling mendasar, yakni kesejahteraan masyarakat.