8 Tahun MoU Helsinski, Refleksi Perdamaian dan Kesejahteraan Aceh
26 August 2013 - 13:42 WIB
DELAPAN tahun perundingan damai antara Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinski masih menyisakan banyak persoalan yang masih harus terus di kritisi secara jernih.
Isu tentang point-point MoU sebagiannya masih menjadi perdebatan. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh sebagai turunan dari MoU masih multi tafsir. Salah satunya berkaitan dengan kewenangan pemerintah Aceh untuk menentukan simbol-simbol Pemerintah Aceh.
Sementara upaya kita untuk terus menegakkan demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh cenderung terabaikan. Perdamaian di Aceh yang sudah berumur delapan tahun belum menunjukkan trend peningkatan kualitas Demokrasi dan Kesejahteraan. Sebaliknya, pemerintahan Aceh masih terus berkutat dalam bernegosiasi dengan pemerintahan Republik Indonesia dalam urusan lambang dan bendera Aceh.
Menjadi wajar, ketika pertanyaan mengenai capaian-capaian pasca perdamaian mengemuka. Apalagi semangat MoU tidak lain dan tidak bukan pasti diabdikan pada maksud kesejahteraan dan perbaikan kualitas demokrasi.
Syedara lon, ikuti talkshow radio bersama Katahati Institute dengan tema “8 Tahun MoU Helsinski, Refleksi Perdamaian dan Kesejahteraan Aceh” di Radio Serambi FM 90.2 MHz, Kamis 15 Agustus 2013, Pukul 11.00 – 12.00 WIB.
Narasumber:
– Munawar Liza Zainal, Anggota Tim Perunding GAM
– Abdullah Saleh SH, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh-Partai Aceh
– Wiratma Dinata, Aktivis Pro Demokrasi Aceh
– Gilang Destika Lestari, Koordinator Kontras Aceh
Host: Hendra Syahputra